Apa Boleh Menikahi Wanita yang Ditinggal Pergi Suami ?
admin4
- 0
Dalam kehidupan rumah tangga, tak sedikit dari kalangan suami yang meninggalkan keluarga dengan pergi merantau jauh, tujuannya tentu untuk bekerja dan mencari nafkah. Dikala suami pergi, ada beberapa istri yang kehilangan kabar hingga bertahun-tahun lamanya atau wanita ditinggal pergi suami.
Pertanyaan yang muncul kemudian yaitu bagaimana tata tertibnya menikahi perempuan hal yang demikian?
Memberitakannya web Kemenag, dalam Fiqih, suami yang pergi hingga tak diketahui keberadaannya dalam waktu yang cukup lama spaceman slot diketahui dengan istilah mafqûd. Hilangnya kabar keberadaan suami dapat disebabkan pergi tanpa kabar, menjadi korban musibah yang jasadnya tak ditemukan, dan lain sebagainya.
Dalam keadaan seperti itu terdapat dua anggapan dari kalangan ulama. Pendapat pertama, si perempuan semestinya menunggu hingga diyakini ikatan pernikahan-nya dengan si suami telah terputus, bagus sebab kematian suaminya, telah ditalak suaminya, atau sejenisnya. Kemudian ia telah menjalani masa iddahnya.
Sebab ini mengingat regulasi asal dalam kasus hal yang demikian yaitu si suami masih hidup dan status pernikahannya masih berlaku secara menyakinkan sehingga tak dapat dianggap batal selain secara meyakinkan pula. Pendapat anggapan Imam As-Syafi’i dalam qaul jadîd.
قوله (وَمَنْ غَابَ) بِسَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ (وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ) أَيْ يُظَنَّ بِحُجَّةٍ كَاسْتِفَاضَةٍ وَحُكْمٍ بِمَوْتِهِ (مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ) أَوْ نَحْوُهُمَا كَرِدَّتِهِ قَبْلَ الْوَطْءِ أَوْ بَعْدَهُ بِشَرْطِهِ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاءُ الْحَيَاةِ وَالنِّكَاحِ مَعَ ثُبُوتِهِ بِيَقِينٍ فَلَمْ يَزُلْ إلَّا بِهِ أَوْ بِمَا أُلْحِقَ بِهِ
“(Suami yang menghilang) sebab pergi atau sebab lain (dan terputus kabarnya, karenanya istrinya tak boleh menikah lagi hingga diyakini) yaitu diduga kuat berdasarkan hujjah, seperti kabar luas atau diucapkan mati secara regulasi (kematian atau talaknya) atau semisalnya, seperti murtadnya sebelum atau setelah terjadi persetubuhan dengan syaratnya, kemudian si istri menjalani iddah. Meski, regulasi asalnya yaitu si suami masih hidup dan pernikahan tetap resmi secara yakin sehingga hal ini tak dapat sirna selain dengan kabar yang yakin pula atau yang disamakan dengannya,” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj pada Hawâsyais Syarwani wal ‘Abbâdi, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1996], cetakan pertama, Jilid X, halaman 456).
Masa 4 Tahun Qamariyah
Pendapat kedua, si perempuan semestinya menunggu hingga melalui masa empat tahun qamariyyah dan kemudian melakukan iddah selama 4 bulan 10 hari. Masa empat tahun dipakai standar sebab yaitu batas optimal usia kehamilan. Penerapan perhitungannya diawali sejak hilangnya keberadaan suami atau keputusan regulasi dari hakim atas kematian suami.
قوله (وَفِي الْقَدِيمِ تَتَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ) قِيلَ مِنْ حِينِ فَقْدِهِ وَالْأَصَحُّ مِنْ حِينِ ضَرْبِ الْقَاضِي فَلَا يُعْتَدُّ بِمَا مَضَى قَبْلَهُ (ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ) بَعْدَهَا اتِّبَاعًا لِقَضَاءِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِذَلِكَ وَاعْتُبِرَتْ الْأَرْبَعُ لِأَنَّهَا أَكْثَرُ مُدَّةِ الْحَمْلِ.
“(Pendapat qaul qadîm, ia semestinya menunggu selama empat tahun), berdasarkan satu versi: empat tahun itu dihitung sejak hilangnya si suami. Sementara berdasarkan versi al-ashhah, dihitung sejak ada keputusan dari hakim, karenanya waktu yang berlalu sebelumnya tak di hitung. (Kemudian ia menjalani ‘iddah sebagai wanita yang ditinggal mati suaminya, lalu boleh menikah) setelahnya. Pendapat sebab mengikuti putusan regulasi Umar RA dalam kasus hal yang demikian. rujukan empat tahun, mengingat masa hal yang demikian yaitu batas optimal masa kehamilan.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj, cetakan pertama, Jilid X, halaman 457).
Pendapat qaul qadîm Imam As-Syafi’i rahimahullâh ini serasi dengan riwayat anggapan ulama lainnya. Dari generasi teman seperti ‘Umar bin Al-Khattab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Utsman bin ‘Affan, dan Ibnu Mas’ud radhiyallâhu ‘anhum. Penerapan dari generasi tabi’in ada An-Nakhai’, Atha’, Az-Zuhri, Makhul dan As-Sya’bi.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ قَضَيَا بِذَلِكَ وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ قَالَا تَنْتَظِرُ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ أَرْبَعَ سِنِينَ وَثَبَتَ أَيْضًا عَنْ عُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ فِي رِوَايَةٍ وَعَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ كَالنَّخَعِيِّ وَعَطَاءٍ وَالزُّهْرِيِّ وَمَكْحُوْلٍ وَالشَّعْبِيُّ
“Diriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyab, sungguh Umar dan Utsman pernah memutuskan regulasi demikian. Dengan sanad shahih, Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibn Umar RA dan Ibnu Abbas RA, keduanya berkata, ‘Istri mafqûd semestinya menanti empat tahun.’ Riwayat ini ada pula yang berasal dari Utsman dan Ibnu Masud, dan dari sekelompok tabi’in umpamanya An-Nakha’i, Atha’, Az-Zuhri, Mahkul, dan As-Sya’bi.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalâni, Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun], jilid IX, halaman 538).